Wednesday, April 15, 2009

cara belajar Salahuddin Al Ayyubi

Belajar dari Salahuddin dan Peranan Suara Hati
Oleh nicho - 8 April 2009 - Dibaca 142 Kali -

Pemilihan pemimpin dan wakil baru bagi rakyat Indonesia kini sudah di depan mata. Calon-calon legislatif yang bertarung dalam kancah politik Indonesia kini tinggal menunggu nasib. Ada sebagian dari mereka yang akan berhasil duduk untuk mewakili rakyat atau hanya meratapi nasib menerima kekalahan.

Bagi calon-calon yang berhasil duduk untuk mewakili rakyat, seyogianyalah mereka untuk bersih. Dengan begitu, masyarakat pun merasa tidak sia-sia ketika memilih wakilnya itu.

Namun realitanya, dunia politik di Indonesia sepertinya tidak pernah bisa lepas dari budaya amoral yang seolah telah mendarah daging, yaitu korupsi. Entah itu korupsi uang, maupun korupsi waktu. Semuanya sama-sama merugikan warga Indonesia dan membuat dunia politik Indonesia harus terus menerus tercoreng namanya hanya karena perbuatan bodoh semacam ini.

Entah karena orang-orang yang duduk itu enggan belajar dari sosok terdahulu atau memang sengaja menutup dirinya untuk menegtahui sosok mana yang patut mereka teladani, mereka kemudian tidak pernah bisa menghindar dari keinginan untuk menerima uang haram. Padahal, jika mereka mau sedikit belajar dari salah satu sosok yang hidup di abad ke 11, mereka bisa belajar tentang bagaimana menghindarkan diri dari budaya korupsi. Selain itu, mereka juga bisa belajar bagaimana menjadi seorang besar, yang bukan ditakuti, melainkan dihormati karena kebijaksanaannya.

Belajar menjadi Salahuddin Al-Ayyubi
Mungkin, ada segelintir orang yang belum pernah mendengar sosok yang satu ini. Jika pernah ada di antara kita yang menonton film Kingdom of Heaven, mungkin ada sedikit bayangan tentang siapa sosok yang satu ini. Namun sayangnya, dalam film tersebut, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai sosok Salahuddin Al-Ayyubi ini.

Jika nama Salahuddin terasa asing di telinga anda, ada baiknya saya menceritakan tentang siapa sosok orang yang satu ini. Salahuddin al-Ayyubi mempunyai nama kecil Yusuf, merupakan putra dari Najm ad-Din, keluarga keturunan Kurdi. Yusuf sendiri dilahirkan tahun 1137 Masehi.

Di masa mudanya, Salahuddin sudah pergi berperang bersama pamannya, dan akhirnya, setelah melalui perjalanan yang tidak pendek, Salahuddin berhasil menyatukan kembali raja-raja kecil di dunia Arab yang tadinya terpecah-pecah. Dengan kekuatan dunia Arab yang kembali bersatu, Salahuddin pun bertekad untuk kembali mengambil Yerusalem yang saat itu berada di bawah kekuasaan tentara salib.

Akhirnya, impian Salahuddin itu menjadi kenyataan. Pada tahun 1187 Masehi, setelah pasukan tentara salib mengalami kekalahan telak dalam pertempuran Hattin, Salahuddin maju menyerang Yerusalem yang pertahanannya kini sudah sangat melemah dikarenakan prajuritnya yang mati dalam pertempuran Hattin.

Selesai merebut Yerusalem, ada dua hal baik yang membuat Salahuddin dikenal menjadi sosok yang dikaguni oleh banyak orang.

Pertama, Salahuddin tidak melakukan pembantaian massal terhadap penduduk Yerusalem maupun tentara-tentara salib yang tersisa yang ada di Yerusalem. Semuanya diijinkan pergi meninggalkan Yerusalem dengan uang jaminan yang sudah disepakati antara Salahuddin dengan Balian.

Tidak seperti pada waktu perang salib pertama, dimana Yerusalem berhasil direbut oleh pasukan salib dibawah pimpinan Godfrey dari Bouillon, terjadi pembantaian terhadap pasukan Muslim dan penduduk Yerusalem yang ditengarai menghasilkan banjir darah segar sedalam mata kaki. Salahuddin sama sekali tidak menyimpan rasa dendam atas kejadian itu, dan tidak ada pembantaian sama sekali ketika ia berhasil merebut Yerusalem.

Kedua, ketika Salahuddin sudah diam di dalam Yerusalem, Salahuddin tidak tinggal di dalam istana-istana besar yang megah. Seyogianya, sebagai seorang Sultan besar yang sudah berhasil mencapai kesuksesan besar dalam merebut Yerusalem, Salahuddin berhak untuk mendapatkan istana-istana terbaik di Yerusalem. Namun, apa yang terjadi adalah kebalikannya. Salahuddin tinggal di dalam sebuah Masjid kecil yang bernama Al-Khanagah. Hal ini dilakukannya untuk menghindari gangguan dari bahaya korupsi.

Inilah sosk pemimpin yang sepatutnya diteladani. Tidak bersikap balas dendam dan pragmatis. Selain itu, ia juga adalah sosok pemersatu. Penghormatannya terhadap orang lain pun, sudah sepatutnya untuk diacungi jempol.

Tumpulnya Suara Hati, Hilangnya Hati Nurani
Di tengah banyaknya fasilitas yang ditawarkanm, gaji yang memadai ketika berhasil duduk di Senayan, sudah pasti setiap orang berusaha mati-matian untuk mendapatkan satu kursi saja. Entah itu memang benar untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, atau hanya untuk mengenyangkan perut sendiri.

Menurut Dr. Franz Magnis Suseno, suara hati adalah kesadaran dalam batin manusia bahwa manusia berkewajiban mutlak untuk melakukan hal-hal yang benar sesuai dengan tanggung jawabnya dalam situasi yang konkret.

Jadi, suara hati itu berfungsi untuk menunjukkan kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan sesuai dengan tanggung jawab kita dan sesuatu itu harus benar. Sekarang pertanyaanya adalah, ketika pemimpin-pemimin itu berhasil duduk mewakili rakyatnya, tanggung jawab apa yang melekat pada diri mereka? Tentu saja tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Dan dalam situasi yang konkret seperti sekarang ini, dimana dunia sedang diselimuti awan mendung krisis global, patutkah mereka berfoya-foya dan masih menerima uang haram untuk memperkaya diri sendiri? Tidakkah seharusnya mereka bisa puas dengan apa yang sudah diberikan negara dan rakyat kepada mereka?

Dengan tumpulnya suara hati yang menunjukkan arah yang benar dalam melakukan sesuatu, maka hilang jugalah hati nurani mereka. Perlu diketahui, hal yang bisa membuat hati nurani menjadi hilang adalah juga karena faktor kebiasaan dan rasionalisasi. Dengan terus menerus terbiasa bersikap korup dan merasionalisasikan bahwa korup itu adalah tindakan yang wajar, maka selama itu juga hati nurani pemimpin-pemimpin kita yang korup akan terus hilang.

Tidakkah seharusnya mereka belajar dari sosok Salahuddin yang menghindari kemewahan meskipun sepatutnya ia mendapatkan itu? Dan, tidakkah juga seharusnya para pemimpin kita mengasah suara hati mereka demi mengembalikan hati nurani yang telah hilang? Jawabannya memang ada di tangan mereka. Selama mereka tidak mau belajar untuk berubah, selama itu juga Indonesia akan terpuruk dalam bayang-bayang budaya korupsi.

[+/-] Selengkapnya...

Free Web Hosting